SEJARAH DAN MITOS DESA KEBAK
Pada makalah ini akan dibahas mengenai mitos dan sejarah
desa Kebak. Desa Kebak adalah tempat
tinggal saya yang berlokasi di kecamatan Kebakkramat, Karanganyar, Jawa Tengah.
Pada penulisan makalah ini saya berkonsultasi dengan bapak saya dan kakek saya
yang saya anggap sedikit mengerti tentang desa Kebak.
Pada
awalnya desa Kebak terbagi atas tiga tempat yang bernama Jantipuro, Penewon,
dan Bantaran. Kemudian dari ketiga tempat tersebut digabung jadi satu nama,
yang kemudian bernama desa Kebak. Dalam bahasa jawa “kebak” berarti penuh. Kemudian
nama desa itu dipakai sampai sekarang.
Dahulu desa
Kebak masih kental dengan adat-adat jawa dan percaya dengan hal-hal mistis. Di
desa Kebak terdapat dua pepunden atau tempat yang dikeramatkan yaitu “Tanjung”
yang berwujud dua pohon besar. Pohon tanjung berwujud seperti pohoh beringin. Konon
disitu ada “danyang” yaitu sosok wanita, danyang
adalah sebutan penunggu untuk masyarakat jawa. Pepunden tersebut biasanya
untuk tempat melakukan ritual atau acara khusus. Setiap tahunnya diadakan acara
bersih desa di Tanjung. Acara tersebut bertujuan sebagai wujud syukur
masyarakat desa Kebak dan agar selalu diberikan keselamatan. Pada siang harinya
semua warga desa berbondong-bondong menuju ke pepunden membawa “bancakan” yang
dibungkus dengan “panjang ilang” yaitu terbuat dari janur kuning. Kemudian
setelah berdoa bersama yang dipimpin oleh sesepuh desa, semua warga saling
tukar-menukar bancakan atau makanan
yang mereka bawa yang bertujuan agar semua merasakan. Agar tidak ada
kesenjangan sosial, dan semua saling merasakan.
Kemudian pada malam harinya di pepunden tersebut ada
sebuah acara “cokekan”, yaitu warga desa menari bersama dengan diiringi musik
gamelan dan sinden. Karena konon katanya danyang
di pepunden tersebut suka dengan cokekan.
Pada malam itu semua warga melakukan tirakatan
atau berkumpul di pepunden.
Selain acara tahunan yang diadakan di pepunden tersebut
juga ada acara-acara khusus yang dilakukan di pepunden tersebut, yaitu acara
nikahan. Setiap ada warga desa yang menikah, kedua pengantin bersama sesepuh
desa mengadakan ritual di pepunden, yaitu berkeliling memutari pepunden. Ritual
tersebut bertujuan agar kedua pengantin selalu diberi keselamatan dan
menghindari marabahaya. Kemudian setiap ada acara manten, ada adat “guak-guak”
yang berarti buang-buang. Disitu dilakukan peletakan sesaji disetiap perempatan
jalan agar diberikan keselamatan. Dan setiap selesai acara hajatan dibagikan
jenang sumsum untuk ibu-ibu yang membantu memasak, yang bertujuan agar tidak
merasakan lelah selama membantu dalam hajatan dengan makan jenang sumsum
tersebut.
Kemudian masih banyak adat-adat yang lain di desa Kebak
seperti acara “nylamper” yang dilakukan para petani saat padi mulai menguning. Nylamper yaitu dengan memberikan sesajen
dan tukon pasar pada pojok-pojok patok sawah yang bertujuan agar hasil panen
melimpah. Kemudian setiap habis tanam padi, para petani mengadakan “surakyo”
yaitu bancakan setelah tanam padi atau tandur.
Para petani berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai
hewan pembajak seperti kerbau, sapi sebagai wujud terimakasih petani kepada
hewan yang telah membantu membajak sawahnya dan wujud penyemangat agar hewan
pembajaknya senang dan tidak merasa lelah. Isi makanan dalam bancakan tersebut adalah lepet,
kupat, jeneng sumsum, dan
pisang. Hewan pembajak tadi dikalungi kupat biar seneng.
Kemudian setiap ada kelahiran hewan pembajak yang berusia
5 hari diadakan bancakan. Apabila
anak hewan tersebut laki-laki maka diberi jadah
pada bancakannya apabila
perempuan diberikan pondoh atau sego
jagung. Pada acara tersebut dihadiri para penggembala.
Di desa Kebak ada mitos lagi yang sangat kuat. Di desa
Kebak ada rumah “penewu”. Penewu adalah
sebutan penguasa pada masa itu. Konon pada saat jaman belanda tempat tersebut
untuk bersembunyi para tentara dan para warga. Karena konon, tidak ada pesawat
belanda yang berani melintasi tempat tersebut, karena dikhawatirkan jatuh.
Tempat tersebut sangat angker. Di tempat tersebut ada pohon stropel yang sangat
besar, didalam pohon itu ada 9 pusaka(keris) yg
sudah diambil sekarang.
Diatas tadi adalah adat-adat di desa Kebak, dimana semua
sangat sakral. Penah terjadi musibah saat salah satu adat tersebut dikurangi
atau dihilangkan. Yaitu pernah saat terjadi penikahan, manten tidak
dikelilingan di pepunden. Setelah itu, tiba-tiba seketika kepala desa meninggal
di tempat hajatan. Setelah itu, kemudian adat dijalankan kembali. Kemudian ada
lagi, saat akan mengurangi sesaji dalam kampung, ada musibah yaitu, kepala
dusun tiba-tiba tidak bisa bicara, dan sesepuh desa mengalami kelumpuhan.
Setelah kejadian tersebut, adat-adat dilengkapi kembali.
Namun semakin berkembangnya jaman, sekarang ini adat-adat
tersebut sudah banyak yang hilang. Namun ada juga yang masih, seperti acara bancakan. Sekarang ini sudah banyak
pengetahuan dan sudah kenal agama. Kalau orang-orang dahulu masih percaya
dengan dunia-dunia mistis, percaya dengan animisme dan dinamisme. Sekarang semakin
bekembangnya ilmu dan pemahaman agama, orang-orang menjadi tahu bahwa kegiatan
memuja pohon atau makhluk selain Allah itu adalah musyrik. Maka dari itu
sekarang adat-adat tersebut banyak ditinggalkan meskipun ada juga yang masih
memegang erat adat tersebut.
Pendapat saya mengenai sejarah dan mitos tersebut adalah
tentu saya percaya sejarah terbentuknya desa Kebak, karena ceritanya memang
begitu dan memang benar dahulu sebelum menjadi nama desa Kebak, awalnya adalah
Jantipuro, Bantaran, dan Panewon.
Kemudian pendapat saya mengenai mitos-mitos yang ada di
desa Kebak adalah mendengar cerita tentang mitos desa Kebak awalnya saya sangat
takjub karena ternyata begitu beragam adat dan mitos di desa Kebak ini. Menurut
saya adat-adat desa Kebak dahulu memang ada yang menyimpang, dahulu masyarakat
percaya dengan animisme dan dinamisme, jelas tindakan tersebut adalah musyrik. Seperti
memuja pohon, meminta keselamatan kepada roh penunggu pohon atau biasa disebut danyang. Karena dahulu masyarakat memang
kurang akan pengetahuan khususnya pengetahuan agama. Banyak masyarakat takut
dengan hal-hal yang akan terjadi jika adat-adat tersebut dilanggar atau
dihapuskan karena dahulu memang ada hal-hal yang terjadi saat salah satu adat
di desa Kebak dilanggar. Seperti meninggalnya kepala desa mendadak saat manten
tidak dikelilingkan di pepunen, kepala dusun yang tiba-tiba tidak bisa bicara
dan lumpuhnya sesepuh desa ketika salah satu adat dikurangi. Menurut saya,
ketakutan masyarakat tersebut karena memang kurang pengetahuan masyarakat akan
pengetahuan agama. Hal-hal yang terjadi tersebut, memang takdir dan kehendak
Tuhan, bukan berarti karena danyang
atau hal yang dikeramatkan di desa Kebak marah. Hal-hal tersebut terjadi mungkin
memang pas disaat adat-adat tersebut dihilangkan, bukan berarti itu wujud
marahnya danyang.
Kemudian menurut saya mengenai adat yang lain mempunyai
sisi positif juga, tergantung kita yang memaknainya. Seperti acara bancakan di pepunden. Karena hal tersebut
bisa membuat rukun masyarakat, dan menghilangkan kesenjangan sosial antara si
kaya dan si miskin. Seperti itu tinggal kita yang memaknainya, karena musyrik
atau tidak itu tergantung niatnya. Kalau pun bancakan niatnya sebagai wujud syukur misal karena panennya
melimpah seperti itu tidak apa-apa. Karena nama bancakan itu sendiri adalah warisan leluhur meskipun maknanya
sekarang beda.
Masalah percaya atau tidak dengan mitos-mitos yang ada di
desa Kebak itu terserah, tergantung yang memaknainya. Yang terpenting, kita
harus menghargai adat dan budaya di desa kita ini.